Kategori: Manhaj // 9 Februari 2013
Perselisihan adalah keniscayaan yang
tidak dapat dihindarkan. Karena Allah menciptakan manusia dengan tingkat
pamahaman, akal, kecenderungan dan perasaan yang berbeda-beda. Disisi yang
lain, Allah mengaruniakan kepada orang-orang yang beriman hati-hati yang saling
terpaut dan memerintahkan mereka agar menjaga persatuan.
“Dan yang mempersatukan hati mereka.
walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah Telah mempersatukan
hati mereka. Sesungguhnya dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal: 63)
“Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara.” (QS.
Ali Imran: 103)
Ini adalah dalil bahwa persatuan dan
keterpautan hati orang-orang yang beriman di antara tujuan-tujuan syariat.
Walaupun tidak dipungkiri memang, bahwa perselisihan seringkali berpengaruh
buruk pada sisi persatuan ini. Kritikan dan bantahan dapat menimbulkan
ketidaknyamanan hati dan mengganggu keharmonisan. Oleh karena itu, kritik
hendaknya disampaikan dengan hati yang tulus, sehingga diskusi dan perdebatan
tidak menjadi sebab putusnya tali kecintaan antara kaum mukminin.
Para sahabat dahulu pun berselisih
satu dengan yang lainnya dalam sejumlah permasalahan dan saling mengkritik,
namun dengan tetap menjaga persaudaraan dalam agama. Begitu pun para ulama
setelah mereka. Imam Syafi’i rahimahullah berkata kepada orang
yang berdebat dengannya dalam suatu permasalahan, “Tidakkah kita tetap
bersaudara walaupun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?”
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Tidak ada yang seperti Ishaq yang layak dituju menuju Khurasan, walau ia
menyelisihi kami dalam sejumlah masalah. Karena manusia senantiasa saling
berselisih sebagian dengan sebagian yang lain. (Lihat Mukhtashar Fiqh
Al Radd ‘Alaa al Mukhaalif, hal. 11, Khalid As Sabt)
Perselisihan yang dimaksud disini
adalah perselisihan yang masih dalam koridor yang dibolehkan. Yaitu perselisihan
dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada padanya teks (dalil
wahyu) yang shahih dan sharih (jelas), dan bukan permasalahan yang termasuk
konsesus para ulama (ijmak).
Imam Syafi’i, ketika ditanya tentang
perselisihan yang diharamkan berkata, “Setiap perkara yang Allah tegakkan
untuknya hujjah, baik dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya yang
tertekstualisasi secara jelas, maka tidak halal menyelisihinya bagi yang
mengetahuinya. Adapun perselisihan yang mengandung kemungkinan takwil dan terjangkau
dengan qiyas, sehingga orang yang mentakwil atau mengqiyas mengambil pendapat
yang maknanya masih memungkinkan dikandung oleh suatu dalil atau qiyas –
walaupun orang lain berbeda pendapat dengannya – maka aku tidak mengatakan
harus disempitkan atasnya seperti disempitkannya penyelisihan terhadap masalah
yang tertekskan (manshush).”
Asy-Syathiby rahimahullah berkata,
“Pendapat-pendapat yang bersumber dari dalil-dalil muktabar dalam syariat –baik
yang kuat atau yang lemah- termasuk perselisihan yang dibolehkan.”
Beliau juga berkata, “Perselisihan
yang muktabar ada dalam kebanyakan permasalahan syariat.” (Dinukil dari “Al
Qaul Asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 23-25)
Wallaahu
waliyyut taufiiq
—
Penulis: Ustadz Abu
Khaleed Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel 'Kritik dan Menjaga Persaudaraan — Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment