Kategori: Aqidah
Belum Ada Komentar // 8 Februari 2013
Islam sangat membenci kebodohan.
Karena, kebodohan adalah sumber malapetaka. Selama manusia tenggelam dalam
lumpur kebodohan, selama itulah manusia akan merasakan derita. Dan akibat
terbesar yang dialami umat manusia karena kebodohan adalah penyimpangan akidah
atau keyakinan.
Kata ”jahiliyyah” yang secara bahasa
berarti kedobohan, yang disematkan kepada kaum musyrikin sebelum datang Islam
adalah terma yang merangkum keseluruhan makna penyelewengan dalam beribadah,
kezaliman dan pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliyah terbesar adalah
penyembahan kepada selain Allah atau syirik. Ia adalah ciri paling dominan
untuk kata jahiliyah. Karena itu, masa sebelum pengutusan yang bergelimang
kesyirikan disebut jaman jahiliyah.
Menurut para ulama, pada asalnya
kata jahiliyyah merujuk pada makna kondisi bangsa Arab pada periode pra-Islam.
Kondisi yang diliputi kebodohan tentang Allah, Rasul-Nya, syariat agama,
berbangga-bangga dengan nasab, kesombongan dan sejumlah penyimpangan lainnya.
Namun jahiliyah juga bisa berupa sifat yang ada pada seseorang yang sudah
memeluk Islam. Jahiliyah dengan makna ini ditunjukkan oleh sabda Rasul yang
berbunyi,
“Ada empat perkara jahiliyyah
yang tidak ditinggalkan umatku…” (HR. Muslim)
Juga hadis lain yang Rasulullah
ucapkan kepada Abu Dzar,
“Sesungguhnya pada dirimu ada
sifat jahiliyyah.” (HR. Bukhari Muslim)
Intinya, jahiliah adalah kata untuk
seluruh perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar
yang berakibat kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran.
Semuanya dikatakan jahiliyah karena seluruh pelanggaran atau perkara yang
bertentangan dengan ajaran Islam tidak mungkin bersumber dari ilmu, melainkan
dari kebodohan. Baik pelanggaran itu disebabkan karena ketidaktahuan atau
karena dominasi hawa nafsu yang mengalahkan dorongan keimanan.
Dalam Al-Quran, kata jahiliyah
disebutkan oleh Allah sebanyak empat kali. Masing-masing disebutkan dalam
konteks sebagai sebuah keyakinan, sistem, prilaku dan watak. Untuk lebih jelas,
kita akan uraikan ayat-ayat tersebut satu persatu.
Keyakinan
Allah berfirman,
ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ
بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ
أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ
الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ
الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ
لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ
إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ
مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Kemudian setelah kamu berduka-cita
Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan
daripada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka
sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan
jahiliah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur
tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di
tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka
terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu
(hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh
(dikalahkan) di sini”. Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya
orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke
tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang
ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha
Mengetahui isi hati (QS.
Ali ‘Imran : 154)
Dalam ayat ini, Allah merekam
cuplikan peristiwa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah bersama para
sahabat. Persisnya pada saat kegentingan perang yang akan dihadapi oleh kaum
muslimin. Perang yang akan mereka hadapi adalah perang Uhud, perang besar kedua
setelah perang Badar Kubra. Pasukan muslim menderita kekalahan dalam perang
tersebut.
Dalam kondisi genting itu, Allah
memberikan pasukan muslimin rasa tenang dan aman, dengan kantuk yang Allah
karuniakan. Sambil memegang persenjataan perang, kaum muslimin saat itu
dihinggapi rasa kantuk. Seorang sahabat yang mengalami kejadian itu, Abu
Thalah, mengisahkan, ”aku adalah salah satu diantara orang-orang yang disergap
rasa kantuk pada hari perang uhud hingga pedang yang aku pegang berulang kali
terjatuh. Terjatuh, lalu aku raih lagi. Terjatuh lagi dan aku raih lagi” (HR.
Bukhari).
Itu adalah kondisi kaum muslimin
yang beriman, berkeyakinan kokoh dan tawakal saat itu. Mereka adalah
orang-orang yang senantiasa tenang ketika menghadapi situasi apa pun. Adapun
orang-orang munafik, yang saat itu juga bersama kaum muslimin, Allah kisahkan
dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang cemas, takut dan dihinggapi
kegetiran yang sangat. Yang menyebabkan mereka tersiksa dalam kondisi itu
adalah, sebagaimana yang dikabarkan Allah dalam ayat ini, karena mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah.
Dzan al-Jahiliyyah, atau prasangka jahiliah yang terdapat dalam ayat ini
digunakan untuk mewakili suatu kondisi keyakinan, yaitu keyakinan yang lemah,
dangkal dan dipenuhi keraguan.
Sistem Hukum
Allah berfirman,
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ
عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ(50)
”Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 49-50)
Ayat ini menerangkan perintah Allah
dalam menegakkan sistem hukum yang telah Allah turunkan bagi segenap manusia di
muka bumi. Hukum Allah adalah hukum yang paripurna dan paling adil. Tidak ada
keadilan kecuali jika hukum Allah diterapkan bagi segenap kehidupan manusia di
dunia. Selain hukum Allah, tidak ada hukum yang akan sanggup menciptakan
kemakmuran, kesejahteraan dan keharmonisan bagi seluruh makhluk yang hidup di
atas muka bumi ini.
Perintah untuk melaksanakan hukum
Allah, dalam ayat ini Allah lanjutkan dengan larangan mengikuti hawa nafsu. Ini
artinya, bahwa selain hukum Allah, apa pun bentuknya, adalah hukum dan aturan
yang berdasarkan hawa nafsu manusia. Hukum-hukum yang diciptakan dengan
reka-reka akal manusia bukan hukum yang menjamin kehidupan yang baik di dunia,
terlebih lagi di akhirat kelak. Semua hukum itu sesat dan sangat jauh dari
kebenaran. Allah berfirman, ”…maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan” (QS. Yunus : 32)
Pada ayat yang kedua, Allah
mengingkari orang-orang yang melenceng dari hukum Allah. Sistem hukum selain
milik Allah itu Allah nyatakan dalam ayat kedua tersebut sebagai hukmul
jahiliyyah atau sistem hukum jahiliah. Yaitu sistem hukum dan aturan
hidup yang bersumber dari kebodohan, seperti yang pernah dilakukan oleh
orang-orang musyrik sebelum datang Islam.
Bagi orang-orang yang bertauhid
bersih dan beriman kuat, sistem hidup yang Allah letakkan adalah sistem yang
paling baik. Mereka tidak menginginkan hukum selain yang Allah turunkan. Mereka
tidak alergi dengan hukum itu apalagi sampai membenci, memerangi dan menjegal
penerapannya. Karena ketundukan yang diperolehnya dari rasa iman dan tauhid
yang telah mengkristal itulah mereka sangat percaya menggantungkan semua
hidupnya diatur oleh Dzat yang Mahatahu, Mahaberkuasa dan Maha bijaksana.
Perilaku
Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ
عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)
“Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab : 33)
Ayat ini melarang para wanita kamu
muslimin untuk berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti
orang-orang jahiliah. Wanita jahiliah adalah wanita yang tidak mengenal
kesopanan dalam berpakaian, bertingkah laku dan bergaul dengan lawan jenis.
Karena tingkah laku yang tanpa aturan itu, fahisyah dan kemungkaran tersebar di
mana-mana.
Islam kemudian datang dengan
sejumlah aturan yang membatasi pergaulan dan interaksi kaum wanita. Demi
keseimbangan sosial dan kenyamanan hidup bermasyarakat, etika pergaulan ini
Allah tetapkan agar ketimpangan dan keserawutan hidup bisa dicegah dan
ditanggulangi. Tentu saja sejumlah aturan ini bukan untuk memasung kebebasan
dan mengerangkeng hak-hak hidup manusia.
Persoalan interaksi tidak bisa
berjalan dengan bebas aturan dan sekehendak hati. Proses interaksi yang
kondusif dan benilai positif adalah akumulasi dari prilaku masyarakat yang
tertib, bertanggungjawab dan mengindahkan norma-norma pergaulan. Tanpa hal itu,
ketentraman hidup yang menjadi cita-cita bersama akan sulit dipertahankan.
Khusus mengenai proses interaksi
antara laki-laki dan perempuan, ini termasuk salah satu bentuk interaksi yang
mesti diatur. Larangan berkhalwat, ikhtilath dan berzinah serta perintah untuk
menjaga pandangan (ghadhdul bashar), menutup aurat dan menikah adalah
seperangkat etika yang berprinsip menjunjung moralitas dan ketertiban.
Watak
Allah berfirman,
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي
قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ
التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمًا (26)
“Ketika orang-orang kafir menanamkan
dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan (hamiyyah) jahiliah lalu
Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan
Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan
kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu” (QS. Al-Fath
: 26)
Ayat ini turun menanggapi sikap kaum
musyrikin Quraisy dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah. Mereka menolak Nabi
dan rombongan para sahabat sebanyak tujuhratus orang memasuki Mekkah untuk
melaksanakan umrah pada tahun itu. Mereka juga menolak kalimat “bismillahirr
rahmanir rahim” saat akan dituliskan dalam lembar perjanjian. Namun kaum
muslimin saat itu diberikan Allah ketenangan. Mereka bersabar dan tidak terbawa
emosi. Mereka tetap mematuhi ketentuan Allah.
Ayat ini menggambarkan kondisi hati
kaum musyrikin yang dipenuhi watak kesombongan dan fanatisme kelompok. Reputasi
semu ke-kaum-an yang mereka banggakan membuatnya merasa tidak pantas memakai
sesuatu di luar tradisinya. Sikap pembelaan atas dasar kelompoknya telah
membutakan hati mereka dari kebenaran. Itulah kaum musyrikin Quraisy dulu yang
sombong, angkuh dan keras kepala. Watak buruk itulah yang menghalangi sampainya
hidayah dan ilmu kepada mereka.
Padahal kebenaran telah jelas bagi
mereka. Sama sekali mereka tidak dapat mematahkan argumentasi kebenaran Islam.
Justru Islam membeberkan kepada mereka bahwa landasan kebenaran yang mereka
yakini itu tidak berdaya, lemah dan dangkal. Tidak pantas lalu keyakinan yang
berdasar pada dasar yang rapuh itu masih diikuti, dibela, diperjuangkan dan dipertahankan
dengan membabi-buta.
Wallahu ‘alam, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad.
—
Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc
Artikel: Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment